Bercerita tentang Raja-raja zaman dulu tidak lepas dari ilmu atau kekuatan pinjaman dari Dunia gaib untuk mempertahankan kerajaan atau kejayaan mereka, seperi ilmu arung palakka atau yang dikenal sebagai La Tenri Tatta Raja Bone Sul-Sel yang konon bagi sebagian orang belum tahu realita sebenarnya yang menyatakan penyebab kematian arung palakka.
Yang sebenarnya misteri kematian arung palakka karena ditangkapnya oleh kerajaan gowa dan dibunuh. Tinggi badan arung palakka hampir setara dengan seorang raksasa yang dua kali lipat dari badan orang dewasa. Ada pun biografi arung palakka dalam bahasa bugis atau lontara yakni: La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin.
Ada pun doa arung palakka yang dipanjatkan setiap waktu dan tidak terkecuali saat ingin berperang. Para pengikutnya baik itu prajurit atau rakyatnya sangat patuh dengan kata kata arung palakka. Hanya ada saudara tiri tidak ada saudara kandung arung palakka.
Dalam sejarah yang sebenarnya Arung Palakka bukanlah seorang penghianat seperti yang diketahui sebagian masyarakat. Raja Bone ini sedang mengatur strategi bersama 2 orang pemimpin pasukan yang berbeda tempat dan Negara yakni Cornelis Janszoon Speelman dari Belanda dan juga Kapten Jonker dari dari Ambon untuk bekerjasama untuk membebaskan Bone dari penjajahan.
Silsilah Kehidupan Raja Bone Arung Palakka Semasa Hidup
Bila Anda ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan raja Bone Arung Palakka ini silahkan untu lanjutkan bacaan Anda pada poin penjelasan yang tertera dibawah ini.
1. Semasa Lahir Hingga Kematian Menjemput
Raja Arung Palakka atau La Tenri Tatta lahit di Daerah Lamatta atau Mario ri wawo Kabupaten Soppeng Tahun 1634 Bulan September tanggal 15, lahir dari pasangan La Pottobune, Arung tana Tengnga dan juga istrinya yang bernama We Tenri Suwi, Datu Mario-ri Wawo.
Semasa hidupnya Raja Bone ini memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dengan mempertaruhkan nyawa agar orang-orang Bone terbebas pada masa itu, sampai akhir hidupnya hanya untuk memberikan yang terbaik masyarakat Bone.
Raja Arung Palakka meninggal di Bontoala Kesultanan Gowa pada Tahun 1696 bulan April Tanggal 6 yang dimakamkan di Kabupaten Gowa tepatnya Bontobiraeng, dimana tempatnya waktu ditangkap dan dihukum mati.
2. Pernikahan Arung Palakka
Raja Arung Palakka beberapa kali melakukan pernikahan dan pertama kali menikah dengan Arung Kaju, tapi pada akhirnya mereka bercerai. Pernikahan keduanya berlangsung dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada Tahun 1668 Bulan Maret tanggal 16 sebelum pernikahannya dengan Karaeng Bontomaronu dengan Karaeng Karunrung Abdul Hamid.
Pernikahan kali itupun tidak berlangsung lama atau berakhir dengan perceraian tanggal 26 Januari Tahun 1671dan itu untuk yang ketiga kalinya ia pun menikah dengan We Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu yang memiliki gelar sebagai Datu Soppeng di Daerah Soppeng pada Tahun 1673 Bulan Juli tanggal 20 silam.
Tapi istri ketiganya itu adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II Datu dari Soppeng yang dimana sebelumnya menjadi istri dari La Suni, Adatuwang Sidendreng. Pernikahan tersebut adalah yang keempat kalinya dilakukan pada Tahun 1684 bersama Daeng Marannu, Karaeng Laikang anak dari Pekampi Daeng Mangempa karaeng Bontomaronu dari Daerah Gowa.
3. Bersekutu Dengan VOC
Untuk membebaskan masyarakatnya dari penindasan dan kesengsaraan Arung Palakka melakukan kerjasama dengan VOC. Raja Bone ini terkenal sangat disegani oleh para pendekar seantero Batavia karena perawakan yang begitu sangar dan ditahu sebagai jagoan dengan rambut gondrong dan mata yang nyalanya menyilaukan.
Kekuatan serta keperkasaan seakan dikaruniakan hanya untuk dia dan bersemayam dalam dirinya. Dengan bersenjatakan badik yang yang dapat menguraikan usus ini telah berkelana di Batavia dari tahun 1660 sesaat melarikan diri kekuasaan dan genggaman Sultan Hasanuddin bersama para pengikutnya.
Pada abad ke-17 adalah masa terjadinya kekerasan serta penindasan yang hanya untuk memperoleh pencapaian suatu maksud. Zaman dimana Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker menyatakan bahwa kekerasana adalah nafas yang sangat melegakan untuk kelangsungan para kolonial.